top of page
Search

Adanya Organisasi Internasional untuk Mengurangi Sistem Anarki

  • Writer: Giovani Malinda
    Giovani Malinda
  • Dec 27, 2017
  • 4 min read


Dari abad ke abad, sistem internasional berubah seiring dengan perubahan sikap masyarakat. Bentuk pemerintahan yang imperial sudah tidak lagi populer dalam sistem yang sekarang. Kini masyarakat dunia sedang berkutat dengan isu-isu mengenai hak asasi yang menjadi dasar dari hampir setiap hukum internasional. Negara yang masih menganut sistem politik yang tertutup telah sulit ditemukan dalam era demokrasi liberal.[1] Kondisi politik dan ekonomi yang terbuka dianggap menjadi keadaan yang paling ideal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern. Negara-negara tidak lepas dari pengaruh dan intervensi berbagai organisasi internasional atau aktor-aktor internasional lainnya (NGO’s, perusahaan multinasional, dan individu). Jadi, anarki dalam sistem internasional saat ini sudah berkurang dibandingkan era sebelumnya.


Kebebasan pers dan globalisasi ternyata juga mempengaruhi sistem politik internasional. Kemudahan masyarakat dari berbagai belahan dunia untuk mengakses informasi, meningkatkan kepekaan dan tak pelak meningkatkan kebutuhan seperti perlindungan dan rasa aman. Masyarakat semakin menuntut negara untuk menjamin keamanan internal maupun eksternal. Semua itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh sebuah negara, melainkan membutuhkan bantuan dan campur tangan dari pihak lain, entah itu negara lain atau organisasi internasional (PBB).


Implementasi dari sistem politik yang less-anarchy dapat kita lihat dari berbagai kebijakan politik negara yang selalu disesuaikan dengan kebijakan internasional dari area regionalnya. Sebagai contoh, ASEAN yang membentuk komunitas MEA, kini semua negara yang berada dalam regional Asia Tenggara secara tak langsung “harus” membuat kebijakan politik yang berorientasi keluar. Negara-negara seperti Myanmar yang masih menganggap MEA sebagai ancaman bagi negaranya yang kurang kompeten, pun harus membuka negaranya untuk perdagangan dari berbagai negara Asia Tenggara.


Menerima hukum internasional sebagai kebijakan domestik adalah bagian dari suatu negara mengurangi kedaulatan dan membiarkan organisasi internasional yang “menodai” kedaulatan itu. Sistem anarki yang menganggap negara sebagai aktor utama dari sebuah sistem internasional tidak lagi berlaku untuk sekarang ini. Belum lagi, ditambah dengan organisasi-organisasi internasional non-pemerintah (NGO’s) yang mulai bergerak dalam lingkup politik[2] (sebelumnya hanya dalam bidang pengembangan ekonomi dan sumber daya manusia).


NGO’s saat ini sedang merambati aspek HAM dan isu-isunya. Sementara isu kemanusiaan sekarang ini adalah isu yang paling sensitif dan paling menarik perhatian bagi seluruh dunia. Kini masyarakat menuntut kebebasan mutlak untuk tidak lagi diperintah total oleh negara seperti pada zaman monarki dan totaliter. Isu-isu HAM tentu saja mempermudah gerakan organisasi-organisasi ini untuk melibatkan pemerintah-pemerintah negara untuk ikut berperan dan memberikan sumbangsih terhadap badan NGOs tersebut. Inilah yang membuat kini NGO’s hampir memiliki pengaruh sebesar organisasi internasional pemerintahan. Kini bentuk anarki hanya dianggap sebagai hasil ketakutan dan kegelisahan negara-negara tradisional mengenai dominansi dari negara-negara besar. Sebagian negara juga merasa ketergantungan besar terhadap negara lain juga akan mengancam eksistensinya.[3]


Lalu, pihak manakah yang menggoncangkan bentuk anarki dalam sistem internasional? Tentu saja sangat kecil kemungkinan perubahan sistem internasional yang signifikan terjadi tanpa adanya pihak yang berperan paling besar dalam perubahan ini. Tokoh yang paling terlihat menyebarkan pengaruh politiknya adalah negara yang hegemoni. Negara-negara besar di Amerika dan Eropa berhasil mengambil perhatian masyarakat dunia dengan pertumbuhan organisasi-organisasi internasional yang mengurangi sifat anarki negara-negara dunia.


For the conservative, liberal, or fascist – this is a frightening position. Naturally, the element of self-admiration prevents these groups from recognizing the flexibility that any individual might take.”[4]

Anarkisme dikurangi agar proses persebaran pengaruh demokrasi-liberal dapat dengan mudah diikuti dan mempengaruhi kebijakan politik suatu negara yang tertutup.


Sementara itu, beberapa negara lain yang menolak sistem internasional yang liberal akan tetap bertahan dalam autarkinya dan tidak berperan terlalu banyak dalam kegiatan dan kewajiban internasional. Sebagai contoh, adalah sikap Korea Utara yang agresif akhir-akhir ini. Pemimpin negara Korea Utara menolak untuk menandatangani perjanjian NPT (Non-Proliferation Treaty) tetapi justru melakukan berbagai aktivitas yang menakutkan masyarakat dunia, yaitu mengembangkan bom nuklir dengan berbagai tes peledakan bawah tanah.


Perilaku semacam ini dapat kita gunakan sebagai standar bahwa berkurangnya batas-batas antar negara sangat menggelisahkan negara-negara yang masih menganut sistem autarki. Negara-negara yang masih mempertahankan paham anarkis dalam negaranya justru sulit untuk berkembang di dalam dunia internasional. Sistem ekonomi state-centred mulai ditinggalkan dan setiap regional mulai berlomba-lomba mengembangkan aktivitas negara yang berorientasi keluar. Apabila sistem yang baru ini menghimpit negara untuk bergerak leluasa, maka dapat dikatakan bahwa kini kedaulatan negara tidak lagi diperhitungkan.


Seperti yang telah dikemukakan oleh Morgenthau, konsep politik memang tidak pernah menjanjikan dan terus menjadi perdebatan dari masa ke masa.[5] Sistem politik akan selalu berubah seiring dengan perubahan kepentingan negara-negara yang berpengaruh.[6] Dilema selalu terjadi pada negara-negara yang “kalah suara” dan minoritas di antara aliansi negara-negara yang terbentuk. Banyak negara berusaha mempertahankan eksistensi dengan cara mencari perlindungan terhadap negara atau organisasi regional maupun internasional yang dianggap mampu menunjukkan potensi yang meyakinkan di masa depan; seperti Myanmar yang memilih untuk bertahan di dalam ASEAN meskipun ASEAN sendiri tidak memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhannya.[7]


Perubahan secara global memang tidak dapat kita cegah, begitu juga kita tidak dapat menebak dengan tepat bagaimana perkembangan sistem internasional kita di masa depan. Menyelamatkan dan mempertahankan diri bukanlah suatu perkara yang mudah; namun setiap negara dapat melakukan antisipasi dengan cara melakukan analisis lebih dalam mengenai hubungan antar negara; bagaimana latar belakang dan kepentingan negara-negara lain (terkhusus dalam lingkup regional).


Kerjasama memang dibutuhkan oleh setiap negara untuk menempuh berbagai permasalahan internal maupun eksternal yang tidak dapat dilakukan sendiri. Namun pada dasarnya setiap negara tetap harus membangun pertahanan yang kuat dan berusaha meminimalisir intervensi negara lain terhadap kebijakan politik domestiknya.


Sistem anarki memang memiliki kelebihan, di antaranya setiap negara dapat saling mengenal batasan-batasan di mana kegiatan internasional yang dibuat tidak mengganggu eksistensi negara lain. Dengan adanya sistem anarki, setiap negara saling memahami bahwa mereka tidak dapat melakukan penjajahan politik sembarangan; tidak ada posisi “pemimpin global” yang akan menghapus makna dari negara itu sendiri.


Di sisi lain, sistem anarki dianggap menyulitkan penerapan liberalisasi dan kerjasama internasional apabila ada beberapa pihak yang menolak regim tersebut. Masyarakat hanya mengharapkan setiap negara dapat hidup berdampingan dalam perdamaian. Sistem internasional yang less-anarchy ini diharapkan menjadi suatu bibit ketenteraman abadi bagi masa depan dunia. Namun, bagaimanapun, kedaulatan negara harus tetap dipertahankan untuk mencegah kemungkinan terjadinya dominansi berlebihan terhadap sendi-sendi pemerintahan domestik.

[1] First Monday, diakses pada 8 Oktober 2016.

[2] NGOs in International Politics, Shamima Ahmed, hal 37.

[3] The Anarchist Library, diakses pada 8 Oktober 2016.

[4] Attack The System, diakses pada 8 Oktober 2016.

[5] The Realist Tradition and The Limits of International Relations, Michael Williams, hal. 104.

[6] Ibid, hal. 107

[7] ASEAN’s Myanmar Crisis: Challenges to the Pursuit of a Security Community, Christopher Roberts, hal. 117.


 
 
 

Comments


LET'S TAKE IT TO THE NEXT LEVEL!

© 2018 by Giovani Malinda

  • White Google+ Icon
bottom of page